Minggu, 07 November 2010

Ketika

Faya itu adalah obsesinya. Entah sejak kapan, dia sendiri tidak tahu, dia jatuh cinta pada gadis itu. Berawal dari sayang, bertumbuh jadi cinta, dan hingga dia terobsesi pada Faya. Tapi menaklukkan Faya, seperti mimpi yang tak berujung. Entah kapan dia bisa memenangkan hati Faya. Faya selalu menganggapnya hanya teman dan Faya berkata tak bisa lebih dari itu, sampai kapanpun. Tapi dia tetap keras kepala, menunggu Faya membuka hatinya sampai kapanpun.
Sepuluh tahun berlalu.


Keadaannya masih tetap sama, masih memikirkan bayang Faya, dan Faya hanya menganggapnya teman tidak lebih. Masih sama seperti sepuluh tahun lalu dan Faya berkata, bahkan dua puluh tahun ke depanpun, akan tetap seperti itu. Hatinya kecilnya mencoba memaksanya menyerah. Namun kepalanya, menginginkan Faya harus jadi miliknya. Tak perduli berapa lama dia menunggu.
Tiga belas tahun berlalu, keadaannya masih sama. Hingga dia sampai ke titik tersadarnya. Faya memang mungkin bukan untuknya. Akhirnya dia menyerah pada kenyataan. Faya mungkin ditakdirkan selalu bersamanya, tapi bukan untuk menjadi pasangan hatinya, tapi hanya sahabat. Dia menyerah.
“Kamu menyerah?”
Dia mengangguk. “Menurutmu Liana, bagaimana?”
“Baik, dan dia jatuh cinta padamu?”
Dia menatap sahabatnya. “Adil tidak buat Liana, karena di dalam hatiku masih menginginkan Faya?”
Sahabatnya mengangkat bahu. “Kamu tahu, terkadang lebih baik kita bersama orang yang mencintai kita daripada bersama orang yang kita cintai.”
“Tapi lebih baik saling mencintai kan?”
“Realistis saja. Kamu suka Faya sejak dia berumur 10 tahun, sampai 13 tahun berlalu, kamu tetap tidak bisa memaksa dia membuka hatinya.”
“Aku dengar dia baru patah hati.”
“Dia sudah 2 kali ganti pacar, sementara kamu tetap bertahan mengharap dia, kamu yakin kamu masih sabar?”
“Entahlah, tiba-tiba aku merasa nggak baik membebani dia dengan perasaanku. Akhir-akhir ini dia sungkan padaku.”
“Kamu tetap bisa memilikinya sebagai sahabat.”
Dia menghela nafas.

Dia tahu kalau Racle mencintainya. Dia tahu dan merasakannya saat dia kelas 1 SMA, ketika dia merasa perhatian Racle sudah lebih dari sekedar sahabat. Bahkan saat Racle pergi ke luar kota untuk kuliah, dia tetap menaruh perhatian. Dia mencoba mengabaikan, karena puluhan kali dia memcoba jatuh cinta pada Racle, dia tetap tak bisa. Saat tamat SMA, Racle memintanya untuk kuliah di kota yang sama. Dia tahu apa maksudnya, tapi tetap tak bisa. Dia jatuh cinta pada pria lain.
Ketika akhirnya dia dan pria itu putus, orang pertama yang dicarinya Racle. Entahlah, setiap sedih, dia selalu berharap Racle ada di sampingnya. Tapi Racle ada diluar kota, hanya surat Racle yang selalu dating menanyakan kabarnya yang tak pernah dia balas. Karena dia tak ingin memberikan harapan kosong.
Saat kuliah, dia kembali jatuh cinta. Saat itu Racle sudah menyelesaikan kuliahnya dan kembali pulang. Racle menemuinya, masih dengan tatapan yang sama. Dia merasa bersalah, dan menghindar, tak ingin memberi harapan kosong. Racle terlalu baik.
Ketika akhirnya dia kembali putus dengan kekasihnya. Yang pertama ada dipikirannya Racle.
“Sudah 11 tahun, tak mungkin dia masih punya rasa yang sama.”
“Tapi dia masih sering menanyakanmu?”
“Bukan berarti dia masih mencintaiku kan? Aku juga masih sering menanyakannya, tapi bukan karena rasa cinta, tapi hanya sahabat yang sekedar ingin tahu kabarnya.”
“Tapi percayalah, dia masih mencintaimu.”
Dia menatap sahabatnya. “Aku sudah memcoba menyukainya, tapi aku nggak bisa menganggapnya lebih dari sekedar sahabat, dia tahu itu.”
Dua tahun setelahnya. Dia masih saja belum menemukan tambatan hati baru. Baying mantan terakhirnya masih menghantuinya.
“Lebih baik lupakan mantanmu itu.”
“Aku sudah berusaha.”
“Bagaimana dengan Racle?”
Miracle. Dia mengeja nama itu dalam hati, lalu menggeleng kecil. “Sudah 13 tahun, tak mungkin dia masih punya perasaan yang sama.”
“Kenapa tidak mungkin. Ayolah, coba buka hatimu. Terkadang, lebih baik kita bersama orang yang mencintai kita, daripada bersama orang yang kita cintai.”
“Jadi aku harus buka hati?”
“Cobalah, kalau kamu bisa menganggapnya sahabat, kenapa kamu tidak mencobanya. Dia orang yang mengerti kamu.”
Dia mengehala nafas.

“Faya!”
Faya yang sedang menunggu angkot menoleh. Racle. “Hai.”
“Mau kemana?”
“Kerumah Gita, oh ya, kakak bawa motor, bisa antar aku?”
Racle menggaruk kepalanya.
“Racle!”
Racle menoleh. Faya menatap gadis yang mendekati mereka.
“Sudah dapat?”
“Sudah ini, yuk pulang.” Ujar gadis itu tersenyum lebar sambil mengangkat bungkusan ditangannya.
Faya beralih menatap Racle. Racle tampak kikuk.
“Oh, kalau gitu aku sendri naik angkot, diluan ya, yuk…” Faya menatap gadis itu, pamit dengan matanya. Gadis itu tersenyum lebar.
“Faya.”
“Ya?” Faya berbalik.
“Kenalkan, ini Liana, pacarku. Liana, ini Faya, temanku, sudah seperti adik.”
“Hai, Liana.” Gadis itu mengulurkan tangannya.
Faya seperti terhempas oleh angin kencang. Sesaat dia merasa melayang, namn kemudian dia menguasai dirinya. “Faya!” Dia mencoba tersenyum sambil menjabat tangan terulur Liana. Tapi merasa bibirnya kaku. Entah seperti apa bentuk senyumnya. Berharap Racle dan Liana tak menyadarinya.
“Kita diluan ya, bye.” Pamit Racle. Faya hanya mengangguk. Dia menelan ludahnya. Setelah Racle dan Liana pergi, Faya masih terpaku di tempatnya. Seolah ada yang terbang dari jiwanya. Kosong. Tiba-tiba dia merasakan kesedihan yang teramat sangat.
Kenapa ketika aku mencoba membuka hati dia menyerah? Faya menghela nafas. Ditatapnya langit senja. Air matanya jatuh setetes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar