Kamis, 01 Desember 2011

Lamaran



            “Jadi?”
“Kita putus saja!”
“Kamu sudah yakin?”
“Aku sudah memikirkannya ribuan kali!”
“Yang aku tanya, apa kamu sudah yakin?”
Agatha hanya menghela nafas dan membuang pandangnya ke langit malam.
“Kamu yakin bisa melupakan aku?” Tanya pria itu lagi.
“Asal kita tidak bertemu dan saling kontak, aku pikir bisa.” Lalu Agatha menatap pria yang duduk di sampingnya yang juga menatap langit malam. “Karirmu baru saja dimulai. Aku tak mau memintamu memilih. Banyak perempuan di dunia ini, tapi kesempatan yang kau dapatkan sekarang sangat jarang. Kamu pasti sukses!”

“Ag, kamu ikut tidak?”
“Kamu lihat sendiri kan?” Ujar Agatha menunjuk tumpukan map di mejanya dengan mata.
“Yah, kamu sih, pekerjaan bertumpuk atau tidak, mana pernah mau diajak senang-senang.” Rungut Nayla.
“Sudah tahu masih ditawarin.” Desis Agatha.
“Ini konser terakhir mereka loh.” Ujar Milka sambil memperbaiki dandanannya.
“Ralat! Konser terakhir mereka bersama drumernya!”
“Sayang sekali ya dia keluar, padahal aku suka gemas melihat dia. Dia kan satu-satunya personel yang belum menikah, dan sedang tidak punya kekasih.”
“Seandainya kita bertemu dia, kira-kira dia mau tidak ya jadi pacarku?”
Agatha mendehem. “Katanya mau nonton konser, kok malah asyik ngerumpi? Mana yang dibicarakan tidak jelas lagi!” Gerutunya.
“Yang kita bahas Able band!” Jawab Nayla.
“Able band?”
“Ah, dijelaskan juga kamu nggak bakalan ngeh. Sudah ya kita berangkat dulu. Selamat lembur!”
Agatha tertawa kecil. Dia memang tidak pernah ngeh kalau teman-temannya membicarakan artis. Karena dia selalu menghindar untuk tahu berita dari kalangan selebritis.
“Nih biar kamu tahu sedikit! Jangan kerja mulu. Sekali-sekali nikmati hiduplah!” Milka meletakkan majalah di meja Agatha sebelum berlalu.
Bye! Selamat menikmati konser!” Teriak Agatha.
Dia hendak meneruskan pekerjaannya ketika matanya menatap majalah yang diletakkan Milka tadi. Entah kenapa kali ini dia tergelitik membacanya. Diraihnya majalah itu. Agatha menatap cover majalah itu tanpa kedip. Membaca sebuah kalimat yang tercetak cukup besar disana : Able Band, Sebuah Keputusan Berat!
Bukan judulnya yang membuat Agatha terpana. Tapi salah satu personel band itu. Agatha menghela nafas. Ini yang selalu dihindarinya! Sudah 5 tahun, aku pikir bisa melupakanmu. Aku jarang menonton TV, membaca tabloid ataupun majalah, hanya untuk menghindari mendengar tentangmu. Aku pikir aku bisa! Tapi hanya menatap fotomu, kenapa jantungku kembali berdebar seperti ini?
Agatha menghempas majalah itu dengan kesal. Dia menghela nafas lalu mencoba mulai bekerja. Tapi matanya kembali tergoda pada majalah yang sudah ada di lantai.
“Agatha.”
“Ya Pak?”
“Setelah jam pulang kantor nanti, kamu langsung pulang saja.”’
“Tapi pak, bukannya Bapak yang minta agar saya menyelesaikan…”
“Laporan itu biar Nayla saja yang mengerjakannya!” Ujar Pak Riko sebelum masuk ke ruangannya.
Agatha menatap Nayla yang ada di seberang mejanya. Nayla cuma mengangkat bahu. Yah bagus jugalah, aku bisa istirahat, batin Agatha.
Agatha mengerutkan kening ketika masuk ke dalam rumah. Ruang tamu tampak berbeda seperti biasanya. Lebih rapi, Agatha merasa ada perabot yang dipindahkan. Di ruang keluarga lebih aneh lagi. Bukannya ruangan itu jarang sekali terlihat rapi, karena Niko keponakannya selalu mengacau disana?
“Eh, sudah pulang Ag?” Sapa Ibunya yang baru saja keluar dari kamar.
Agatha mengerutkan kening. Ibunya muncul dengan kebaya dan riasan lengkap.
“Mau pesta Mi?”
Ibu Agatha hanya tersenyum misterius. Agatha semakin merasa aneh ketika melewati meja makan. Di sana penuh dengan hidangan.
“Kita mau ada tamu?”
“Agatha sudah pulang. Eh, kamu mandi sana cepat!” Natasha kakak iparnya menyeretnya masuk ke dalam kamar Agatha.
“Hei, apa-apaan nih? Kenapa kak Vina ada disini juga?” Agatha mengerutkan kening. Setelah keluar dari kamar mandi, dia melihat Natasha dan Vina kakaknya menantinya sambil memegang seperangkat alat rias.
“Kita mau dandanin kamu, ayo sini!” Ujar Vina.
“Kenapa harus dandan? Cukup pakai bedak dan sedikit lipstick saja ah! Memang siapa sih yang mau datang?”
“Sudah, tidak usah protes!” Ujar Natasha, lalu mendudukkan Agatha di kursi, lalu Vina mulai berkreasi di wajahnya.
“Sudah penyiksaannya?” Tanya Agatha setelah 20 menit berlalu. Dia paling tidak nyaman bila didandanani.
“Belum, kamu harus pakai ini!” Vina mengambil sebuah kebaya putih dan kain jumputan berwarna merah marun.
Agatha terbelalak. Dia tahu baju itu. Itu baju yang katanya digunakan Ibunya saat dilamar. Juga yang dipakai Vina  saat dilamar suaminya 4 tahun lalu.
“Hei, sebenarnya malam ini ada acara apa?”
“Masa tidak tahu?” Ujar Nathasa dengan nada menggoda.
Agatha tiba-tiba panik. “Apa-apaan ini!?”
Pintu kamar terbuka dan Ibu mereka masuk.
“Mami! Sebenarnya ini ada apa?”
Ada yang melamar kamu sayang.”
“Kenapa acaranya mendadak begini? Kenapa Agatha tidak diberi tahu sebelumnya?”
“Buat apa, kalau nantinya kamu pasti menolak.”
“Tapi Mi…”
Lima tahun ini, kamu selalu sendiri. Kamu pikir Mami-Papi tidak kepikiran? Usia kamu sebentar lagi 29 Ag, jangan deh sampai melewati usia 30.”
“Tapi tidak dengan cara begini juga Mi! Seharusnya Mami kompromi dulu dengan Agatha!”
“Dan hasil kompromi, seperti yang sudah-sudah, kamu pasti menolak! Sudahlah Ag, kamu jalani saja.” Ujar Nathasa.
“Mi, Agatha belum ingin menikah!”
“Mau sampai kapan? Ag, Mami tahu, kamu sulit jatuh cinta, karena itu Mami terpaksa berbuat seperti ini. Demi kebahagiaan kamu! Sejak putus dari Hira 5 tahun lalu, kamu tidak pernah sekalipun punya teman dekat. Nah, daripada kamu putus asa…”
“Siapa yang putus asa Mi?!”
“Sudahlah! Vin, paksa dia pakai baju itu! Sebentar lagi, tamu kita datang.” Ujar Ibu sebelum keluar dari kamar.
Vina menatap Agatha yang terduduk di tempat tidur. Wajahnya keruh.
“Ag, kamu pakai ya?” Bujuknya. Agatha hanya diam.
“Kamu pakai saja, nanti kamu masih bisa menolak.”
“Dan Mami Papi malu?”
“Kamu tahu sendiri! Tidak ada jalan lari lagi Ag. Terima saja kenyataan ini!”
“Kalian jahat!” Desis Agatha sambil mulai mengganti bajunya.
Tanpa dilihat oleh Agatha, Nathasa dan Vina saling melempar senyum.
“Kamu harus senyum Ag!” Bisik Vina ketika mereka keluar dari kamar.
Bagaimana bisa tersenyum, jika membayangkan, sebentar lagi dia akan hidup dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya?
“Angkat wajahmu.” Bisik Vina saat mereka sudah sampai di ruang tamu. Seluruh anggota keluarga sudah berkumpul.
“Ayolah, angkat wajahmu. Kamu tatap pria yang melamar kamu. Ayolah Ag!” Bisik Vina lagi.
Dengan malas Agatha melirik pria yang dimaksud Vina. Tiba-tiba kepalanya tegak. Dia teringat majalah yang dibacanya 2 minggu lalu.
Kenapa anda memutuskan keluar?
Ada obsesi yang harus saya wujudkan. Dan obsesi itu hanya bisa saya raih, bila saya keluar dari band ini. Sebuah keputusan berat. Tapi saya tidak menyesal.
Boleh tahu, apa obsesi itu?
Hira hanya tersenyum misterius.
Agatha juga teringat perbincangannya 5 tahun lalu.
“Kenapa kita tidak nikmati kesuksesan itu bersama-sama?”
Agatha menggeleng, lalu tersenyum pahit. “Kalau nanti kalian sukses, pastinya kalian akan sering keluar kota. Kita akan jarang bersama. Fans kalian juga pastinya banyak, apalagi wanita. Kamu tahu kan? Aku pencemburu, aku juga tak suka lama-lama berpisah denganmu. Daripada nanti aku tertekan, lebih baik kita putus sekarang kan? Mungkin menurutmu aku terlalu naïf, tapi jika aku nanti berumah tangga, aku ingin suamiku punya banyak waktu untuk aku dan anak-anakku. Aku tidak perduli harta melimpah. Yang aku mau hanya waktu, dan kebersamaan. Pastinya itu tidak akan kita miliki nanti!”
Agatha bangkit berdiri. Diseretnya keluar pria yang tersenyum dengan manisnya itu. Tak diperdulikannya seruan anggota keluarga yang terheran-heran atas sikapnya.
“Kenapa?” Tanyanya setelah berada di luar.
“Kenapa?”
“Ia, kenapa?! Kenapa kamu berbuat seperti ini? Band itu impian kamu kan?”
“Kenapa ya? Mungkin…, karena aku sadar, ada hal yang bisa membuat aku lebih bahagia. Jujur, aku tidak bisa melupakan kamu. Meski aku sudah coba, seperti yang kamu anjurkan. Hampir saja aku memutuskan melajang seumur hidup, kalau 2 bulan yang lalu, aku tidak bertemu Vina. Dia cerita tentang kesendirian kamu. Merasa masih punya harapan, aku, Vina, Mami, dan sedikit bantuan bos kamu, kami merencanakan semua ini.”
“Aku tidak meminta kamu untuk keluar dari band itu. Itu impian kamu kan? Kecintaan kamu! Aku tidak mau…”
“Ya ya, aku tahu, kamu tidak mau menghalangi aku. Tapi whatever dengan semua itu. Aku lebih cinta kamu! Kalau kamu tidak mencintai aku lagi, tidak apa. Tapi, aku memohon belas kasihanmu padaku, tolong terima lamaran ini!”
“Kenapa harus denganku?”
“Karena saat bersamamu, adalah hal yang paling membahagiakan dalam hidupku. Tidak dapat digantikan dengan apapun. Kenapa, aku sendiri tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Lagipula aku merasa lelah dengan kehidupan yang kujalani selama 5 tahun ini. Aku ingin merasakan konsep keluarga sederhana yang ada di kepalamu.”
Agatha tertawa kecil sebelum air mata jatuh di pipinya.
“Hei, kenapa menangis?” Hira takjub. Seumur hidup dia kenal Agatha, meski manja, Agatha bukan orang yang cengeng. Hira tak pernah melihat dia menangis.
Agatha tidak menjawab. Dia menjatuhkan kepalanya ke dada Hira. Hira langsung saja mendekapnya. “Kamu tahu, kalian hampir membuatku mati berdiri. Saat Mami bilang aku dilamar, rasanya duniaku jungkir balik. Kalian berhasil mengerjai aku!”
Hira tertawa kecil. Dipeluknya Agatha erat.
“Hei-hei, ini sudah malam, acara lamaran jadi tidak?” Teriak Vina dari pintu masuk mengejutkan keduanya. Keduanya terkejut, dan melepaskan peluk mereka, seluruh anggota keluarga ada di pintu masuk, memperhatikan mereka berdua, entah sudah berapa lama. 
Lalu keduanya saling tatap, kemudian tersenyum. Bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar