Kamis, 02 Februari 2012

KETIKA CINTAKU DATANG Part II


Bu May tidak menuju ruang Guru, dia berjalan menuju ruang Kepala Sekolah. Diketuknya pintu yang selalu terbuka itu. Ketika mendengar suara Bu Maria mempersilahkan masuk, baru dia masuk. Dia berjalan ke ruangan bu Maria yang ada di balik Lemari besar berisi Piala dan penghargaan yang pernah diraih sekolah itu.

“Kamu May, ada apa?”
“Si Navi.”
“Oh, kamu sudah ketemu?”
“Baru saja, sebelum dia masuk eh dia malah tidur. Kenapa sih anak itu?”
“Stress mungkin.”
“Masa sih?”
Bu Maria tersenyum. “Sudahlah, mungkin dia masih nggak terima pemaksaan ibunya masuk IPA.”
“Aneh deh, padahal seingatku dia itu pintar loh.”
“Ia, tapi sepertinya dia lebih suka IPS.”
“Kalau dia memang nggak suka dia bisa bilang kan? Biasanya kan dia blak-blakan.”
“Yah, kamu tahu sendiri, sejak Angela meninggal, Navita berusaha jadi anak penurut. Kamu pandai-pandailah membimbing dia, dia paling benci Fisika loh.”
Bu May menganguk-angguk. “Ya sudah, permisi dulu ya Tan.”
“Hm.”
“Eh ya, kamu masih suka aneh sama anak yang namanya Rabu itu?”
May tersipu. “Ah Tante!”
“Jangan sampai terbawa perasaan pribadi, kalau mereka tahu kenapa kamu sewenang-wenang sama dia, yang malu kamu juga.”
“Ya deh….”
Bu May keluar dari ruangan Bu Maria. Dia menghela nafas. Ibunya, dan Ibu Navi serta Bu Maria adalah 3 sahabat. Bukan hanya mereka bertiga yang bersahabat akhirnya. Suami dan anak-anak mereka juga bersahabat. Enam tahun lalu keluarga Navi pindah ke Medan sebelum akhirnya kembali ke Jogja setelah kematian Angela, kakak sulung Navi.
Pelajaran terakhir. Biologi. Navi menghela nafas. Lumayanlah!
“Selamat siang semuanya!”
“Siang pak!”
“Wah guru Biologinya ganteng juga!” Gumam Navi. Pantas dari tadi anak cewek kasak kusuk berusaha serapi mungkin.
Si bapak ganteng mulai mengabsen.
“Pak, ada murid baru tuh! Tadi belum sempat kenalan, kenalan dong.” Celetuk Tito.
“Oh ya, siapa, coba maju ke depan.”
Busyet! Males banget dah! Navi melotot kearah Tito yang tersenyum dengan lebar kearahnya. Dia maju ke depan.
“Ya, silahkan perkenalkan diri kamu.”
Navi mendehem lalu menarik nafas pendek. “Nama saya Navita, pindahan dari Medan, perkenalkan…”
“Alamat…alamat.”
“No HP dong…”
Navi meringis mendengar celetukan beberapa cowok di ruangan itu.
Pak guru ganteng itu mengetuk-ngetuk meja. Semua kembali hening. “Baiklah Navita, silahkan duduk. Sekarang pelajaran Biologi, Saya Pak Cakra.”
Navi tersenyum tipis lalu kembali menuju kursinya. Sebelum duduk di tatapnya Rabu yang juga menatapnya. Ih, aneh deh ini orang! Apa karena tadi aku ngeledek namanya dia sebegitu marahnya? Herannya dalam hati.
Hari ini apes! Terlambat, diomelin Tante Maria, ketiduran dikelas, jumpa Kak May (Masih aneh kayaknya tuh orang), Ketemu 3 cowok aneh : Rabu Vito, Tan. Rabu si ceking yang punya mata tajam sinis, gila ya, baru nggak sengaja ngeledekin namanya dia dah melotot terus ke aku.
Tan, cowok berwajah imut, namun punya mata sadis, lebih sadis dari si Rabu! Vito, ketua kelas, yang…lumayan ganteng lah, namun kayaknya belagu! Tiga-tiganya kayaknya nggak suka deh sama aku. Ah biarin, masa bodoh! Biar saja 2 tahun tersisa ini nggak berteman sama mereka.
Navi menguap, lalu menyimpan yang baru saja diketiknya sebelum mematikan netbooknya.
Navi berjalan menuju perpustakaan. Dia malas ke kantin. Navi memperhatikan seisi perpustakaan. Dia mengambil koran baru yang ada di meja dekat pintu sebelum memutuskan duduk dimana. Ah ya, duduk di situ saja! Batinnya lalu menuju sudut kanan perpustakaan.
Navi berbalik, tidak jadi duduk ketika melihat siapa yang ada di sudut kanan perpustakaan. Tadinya dia pikir tidak ada orang.  Karena meja disudut perpustakaan itu sedikit tertutup oleh sebuah lemari.
Begh, tiga mahluk aneh. Batinnya ketika akhirnya memutuskan duduk dekat piano yang ada di tengah perpustakaan. Hm…Dasar Tante Maria nyentrik, perpustakaan aja ada pianonya. Komentarnya dalam hati sebelum membaca korannya.
“Kenapa si aneh itu?” Tanya Tan.
“Tauk tuh, kayaknya nggak suka ngelihat kita.” Ujar Rabu.
“Lah kita yang harusnya nggak suka ngeliat dia. Kemarin menghina nama kamu, terus nggak nurut sama peraturan, kan nyebelin. Padahal namanya sendiri aneh. Napi!” Timpal Vito.
“Navi.” Koreksi Tan.
“Ah sama saja!”
“Anaknya juga kayaknya ogah-ogahan sekolah, dia nggak tahu kali ya, ribuan anak diluar sana pengen sekolah tapi nggak bisa.” Desis Rabu.
“Tapi manis juga.” Desis Tan
“Ia sih. Sampai-sampai Tito yang dulu selalu godain Milka, sekarang nguntit dia terus.”
“Hehe…ia, kemarin Milka senang banget pas tahu itu. Mampus tuh anak diintilin sama Tito.” Ujar Rabu.
“Ah, sudahlah, ngapain juga ngomongin dia, nggak penting, gimana rumus kimianya tadi, kalian udah ngerti?” Tanya Vito pada Rabu dan Tan. Rabu dan Tan mengangguk.
Navi mengeluh pendek. Sudah seminggu dia jadi penghuni kelas ini. Dia belum akrab dengan seorangpun. Meski ada yang berusaha ramah, tapi dia tetap merasa tidak nyaman. Belum lagi setiap berpapasan dengan 3 mahluk aneh itu, dia tambah merasa nggak nyaman. Huh, ingin bolos sekali, tapi entar Tante Maria ‘kotbah’ lagi. Untung kejadian kemarin nggak dilaporin sama Mama, kalau dilaporin, dia pasti dapat ceramah season II dan lebih parah pastinya. Navi menguap. Merasa diperhatikan dia menoleh ke samping. Rabu tengah menatapnya.
“Apa!” Sewot Navi. Kesal juga disinisin terus.
Rabu mengalihkan pandangannya. Navi mendengus. Aneh, dasar aneh! Seaneh namanya!
Pulang sekolah Navi malas pulang ke rumah. Dia melangkah dengan lunglai. Matanya menatap ke depan dengan kosong. Sesekali di tendangnya kerikil di sepanjang trotoar. Dia berhenti ketika merasa melihat sesuatu. Dia berbalik. Di belakangnya dilihatnya seorang anak kecil sekitar 5 tahun tengah menyebrang, sementara sebuah sepeda motor sedang melaju kencang ke arahnya.
“Adek awas….!” Teriak Navi.
Anak kecil itu tersentak. Dia malah bengong di tempatnya. Untung saja sang pengendara sepeda motor berhasil merem, sehingga setengah meter sebelum motornya menyentuh anak kecil itu dia berhenti.
“Woi, lihat-lihat dong kalau nyebrang!” Bentak pengendara sepeda motor itu.
Anak kecil tersebut menangis teduduk. Navi mendekati anak kecil itu dan membantunya berdiri lalu membawanya ke pinggir.
“Ya ampun mas, jangan bentak-bentak anak kecil dong!” Tegur Navi.
Orang tersebut menepikan motornya kemudian membuka helm full face nya.
“Kamu kenal?”
“Ya enggak sih, tapi ya namanya juga anak kecil. Lagian tadi jalanan emang sepi, mas aja yang entah darimana nongol.”
Cowok  itu memperhatikan badge Navi. “Kamu anak SMA Cita?”
“Ia.”
“Kok kayanya nggak pernah lihat?”
“Emang Mas anak Cita.”
Cowok itu mengangguk. “Kamu kelas berapa?”
“Sebelas IA3.”
“Oh, aku kelas Dua belas IS 1.”
“Adek nggak apa-apa kan?” Tanya Navi pada anak kecil itu. Navi tidak menggubris cowok itu.
Anak tersebut masih sesenggukan.
“Eh sesama anak Cita sombong amat sih.”
Kembali Navi menatap orang itu. Glek, ganteng…., baru Navi sadar. Matanya lembut. Rahangnya kokoh. Rambutnya ikal. Navi menggelengkan kepalanya untuk menyadarkannya dari keterpesonaannya.
“Aku murid baru di Cita, masih seminggu.”
“Oh pantas, tadinya aku heran kamu nggak kenal sama aku.”
“Ih, emang mas terkenal?”
Cowok itu tersenyum. “Namaku Pramu.”
Glek…senyumnya manis banget…Navi menelan ludahnya. Senyum itu seolah mempunya magnit, dan matanya seolah ikut tersenyum. Tapi seperti tadi dia tidak membiarkan dirinya larut dalam pesona Pramu.
“Aku Navi. Eng, adek tadi mau kemana?”
“Mau ke pasar.” Anak kecil itu menunjuk pasar tradisional yang ada di seberang jalan tempat mereka berdiri.
“Ngapain?”
“Ke tempat Eyang.”
“Oh…, mau kakak antar?”
Dia mengangguk semangat.
“Hapus air matanya dong. Namanya siapa?”
“Angel.”
Navi terdiam sesaat. Lalu dia berusaha tersenyum. “Yuk kakak antar. Mas Pramu kita diluan ya. Eh ya, kalau bawa motor jangan kencang-kencang dong, bahaya tahu!”
Pramu tersenyum. “Ia, kalian juga hati-hati nyebrangnya.”
Glek…Navi kembali menelan ludahnya. Senyumnya manis banget…. Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Sadar Nav! Sadar! Gerutunya.
“Eyangnya Angel jualan di mana?”
“Tuh..! Eyang…” Angel melepaskan tangannya dari tangan Navi. Dia berlari menuju seorang ibu yang sedang berjualan nasi.
“Angel…, sama siapa? Kok bisa kemari?”
“Angel tadi bosan di rumah, Angel lapar, Paman belum pulang juga.”
Ibu itu menghela nafas. “Kamu tadi kesini berani?”
“Takut sih, cuma Angel lapar, tadi Angel hampir aja ditabrak motor, untuk ditolong bibi itu!” Angel menunjuk ke arah Navi.
Bibi? Aku nggak setua itu kali! Gerutu Navi dalam hati.
Ibu tersebut menatap Navi yang berdiri 2 meter dari mereka. Ibu tersebut tersenyum tipis sambil menganggukkan kepalanya sedikit. “Makasih loh nak.”
“Tapi cucu ibu lucu, masa saya dipanggil bibi?” Komentar Navi iseng.
‘Oh, mungkin karena pamannya seumuran mbak, jadinya dia manggil bibi.”
“Oh…”
“Itu Paman Eyang.”
Navi menoleh ke arah yang ditunjuk Angel. Seorang laki-laki setengah berlari dengan wajah panik mendekati mereka. Navi bengong, Rabu?
“Angel! Kamu disini! Ya ampun Paman khawatir, paman pikir kamu hilang.”
“Habis Paman lama, Angel sudah lapar.”
“Kamu darimana sih? Tadi hampir saja Angel ditabrak motor, untuk ada yang nolongin.”
“Benar Jel? Ya ampun, untung kamu nggak apa-apa. Maafin Paman ya!” Rabu menggendong Angel.
“Bibi ini yang nolong Angel, juga nganterin Angel kemari.”
Rabu menoleh kearah Navi. Matanya terbelalak menatp Navi. Navi menghela nafas panjang, dia malas menatap Rabu. “Eh Bu saya pulang dulu ya. Dadah…Angel.”
“Eh mbak, tunggu. Kamu pasti lapar, baru pulang sekolah kan? Makan dulu.”
“Nggak usah Bu, makasih, saya…
“Nggak baik menolak tawaran orang, apalagi tawaran sebagai ucapan terima kasih.” Dingin suara Rabu menegurnya.
Navi menatap Rabu. Rabu membuang pandangnya.
“Mau ya?” Tawar Ibunya Rabu lagi. Navi akhirnya tak dapat menolak.
“Makasih ya.” Ujar Rabu ketika mengantar Navi ke gerbang Pasar.
“M…sama-sama.” Gumam Navi. Akhirnya ngomong juga nih orang. Gerutu Navi dalam hati. Sedari tadi, mulai dari dia makan Rabu tak bicara, tapi Navi tahu pria itu selalu menatapnya. Dia hanya akan berpaling kalau Navi balas menatap.
“Kamu nggak tahu Angel begitu berarti buat kami.”
Navi hanya menganguk-angguk kecil.
“Kamu ngapain lewat pasar ini, rumah kamu dekat sini?”
“Nggak.”
“Jadi?”
“Iseng aja tadi jalan kemari.”
“Kamu dari Cita jalan kaki kemari?”
“Kenapa?”
“Kan dari Cita kemari ada 2 km?”
“Masa sih? Nggak ngerasa, tadi ngikutin kaki aja.”
“Rumah kamu dimana?”
“Permata Hijau.”
“Permata Hijau? Dari sini nggak angkot menuju sana loh.”
“M…ya udah jalan kaki.’
“Dari sini ke Permata ada 6 km.”
“Ya udah di jalanin aja.”
Rabu berhenti. Navi menoleh ke Rabu, dia juga berhenti berjalan. “Kenapa?”
“Kamu aneh ya?”
“Kata orang sih.”
Rabu menghela nafas. “Tunggu aku minjam motor dulu, kamu tetap disini. Biar aku antar pulang. Ingat ya, tetap disitu!” Rabu kembali masuk ke dalam Pasar. Navi bengong. Masa bodoh ah! Batinnya. Dia melangkah meninggalkan pasar tradisional itu.
“Kamu semalam kok nggak nungguin aku?”
Navi mengangkat wajahnya dari meja dan menatap Rabu malas. “Malas.” Desisnya.
‘Kamu aneh banget sih?”
Ih kamu yang aneh! Batin Navi. Dia menatap beberapa teman sekelas mereka yang sudah datang. Mereka menatap aneh ke arah Rabu dan Navi bergantian. Terutama Tan dan Vito.
“Eh, lihat tuh, kamu yang aneh, sampai dilihat orang-orang tuh!”
Rabu tak perduli, dia masih menatap Navi.
“Kamu kenapa sih?” Tanya Vito.
Rabu menghela nafas. Dia meninggalkan kelas. Vito dan Tan menatap Navi.
“Apaan sih? Gerutu Navi. Keduanya tak menjawab. Mereka menyusul Rabu.
Patty mendekati Navi.
“Apa, mau ngomel juga? Aku nggak ngelakuin apa-apa.”
Patty tersenyum. “Bukan, aku cuma mau bilang sesuatu.”
“Apa?”
“Kamu kok jutek banget sih?”
Navi menghela nafas, kemudian mencoba tersenyum. “Kamu cuma mau bilang itu?”
“Bukan.’
‘Jadi?”
“Kuharap kita bias temenan.”
Navi menggaruk-garuk kepalanya. “Baiklah. Tapi aku nyebelin loh.”
“Kamu lucu.’
“Emang badut?”
Patty tersenyum. Mau tak mau Navi tertular senyuman Patty. Dia tersenyum tak kalah manisnya.
“Oh begitu ya, kirain tadi apa. Dia baik juga ya ternyata.” Komentar Tan ketika Rabu menceritakan kenyadian semalam
“Tapi tetap saja aneh.” Komentar Vito.
‘Alergi banget  sama dia, awas naksir!” Goda Tan. Vito hanya mendengus.

Navi melirik ke samping. Rabu tengah menatapnya. Bedanya, kali ini sorot matanya tak lagi tajam. Navi mencoba tersenyum. Rabu segera mengalihkan pandangannya.
Ih, aneh disenyumin malah melengos. Sialan! Navi cemberut karena kesal. Rabu melirik dengan ekor matanya. Ketika mendapati bibir tipis Navi meruncing dia tak sadar tersenyum.

“Makanan paling enak di sini itu Mie Ayamnya. Kamu udah 2 minggu disini masa belum pernah ke kantin sih?”
“Disini nggak ada donat ya?”
“Kamu mau donat, ada juga tuh.”
“Ok deh, aku pesan donat 4.”
Patty melongo.
“Kenapa?”
‘Enggak, minumnya apa?”
“Jus Wortel campur tomat, tanpa gula.”
“Seleramu aneh.” Komentar Samantha yang duduk bersama mereka.
“Eh ya, Trio kwak kwik kwek itu kayaknya jarang keliahatan di kantin ya?”
“Ia mereka seringnya diperpustakaan.” Ujar Patty yang baru kembali dari memesan makanan.
“Nggak bosan apa belajar terus.”
Patty tersenyum. “Mereka itu sedikit berbeda.”
“Bedanya?”
“Tiga-tiganya dapat bea siswa, kebetulan mereka dari keluarga yang kurang mampu. Rabu, tinggal sama Ibunya yang hanya julan nasi di pasar, dia nggak punya Ayah. Dia kerja sambilan di door smer sepulang sekolah untuk bantu-bantu ibunya, makanya kalau istirahat lebih suka belajar. Tan dan Vito juga kerja sambilan.”
“Ngapain cerita itu sih.” Tegur Samntha.
“Memangnya kenapa, kan bukan aib? Toh seisi sekolah ini juga tahu. Makanya mereka terkesan nggak ramah, padahal mereka itu baik banget.”
Navi menggigit donatnya. Pikirannya melayang pada cerita Patty tadi.
“Navi?”
Navi menoleh. Glek! Si ganteng.
“Navi kan?”
“He eh.” Navi mengangguk.
‘Wah baru ketemu lagi, kemarin aku cari-cari kamu nggak ada, eh malah ketemu disini.”
“Nyari aku, buat apa?”
“Emang nggak boleh ya?”
Navi bengong. Patty dan Samantha saling sikut.
“Ah ya, sampai ketemu lagi.” Si ganteng tersenyum sebelum meninggalkan meja Navi.
“Eh Nav, kamu kok bisa kenal?’
“Oh…kemarin nggak sengaja.’
“Wah Nav beruntung banget. Dia salah satu cowok terkeren di sekolah ini.”
“Playboy dong?”
“Justru itu herannya! Dia biasanya cuek sama cewek, kamu yak ok disapa, pake jampi-jampi apa Nav.”
“Ngaco deh!” Gerutu Navi, tapi hatinya berdebar-debar juga. Hei, belum pernah dia seperti ini! Dia menghela nafas mencoba mengusir debar di hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar