Senin, 09 April 2012

Writing Challenges Gagas

Eclair
Prisca Primasari
Hal 207-208

 "Kau percaya pada ku, kan?" Tanyanya sambil menatap mataku tajam. dan seperti yang sudah-sudah, aku tenggelam di mata kelam itu. 
"Ya, tentu saja aku percaya." Desisku hampir tak terdengar. Ya, aku percaya kau bisa membantuku, tapi..., tambahku dalam hati. Kudengar dia menghela nafas panjang. Aku tahu dia sebenarnya juga resah.
"Maukah kau berhenti mengkhawatirkanku dan berpura-pura aku tidak sedang dalam bahaya?"
Aku tak bereaksi.
"Katya..." Panggilnya lembut.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri Seryozha." Desisku seperti tahu apa yang ingin dikatakannya.
Dia menatapku lama.  dia kemudian menggeleng. "Tidak, kau tidak bisa." Desisnya. Lalu dia menatapku lama. mungkin dia sedang menyusun rencana, kemana lagi aku akan diungsikannya dari kejaran para debt collector dan Gang itu. Sesungguhnya aku lelah lari seperti ini. Aku juga tak ingin dia terlibat sejauh ini terhadap masalah yang ditimbulkan ayah tiriku. Toh kami hanya berteman. aku tidak ingin menyusahkannya meski aku selalu ingin bersamanya.
"Kupikir kita berteman." Desisnya setelah lama kami saling tatap. mungkin dia menangkap keengganan di mataku untuk terus dilindunginya.
"Tapi aku bosan Sergei." Dustaku. Aku tidak pernah bosan dilindunginya, namun saat yang bersamaan aku mengkhawatirkannya. "Aku ingin hidup normal." Desisku. Ya hidup normal, dan bersamamu. tapi bisakah?
Dia menggenggam tanganku. dan rasa nyaman sekaligus khawatir seperti yang sudah-sudah setiap dia menggenggam tanganku kembali kurasakan.
 "Kenyataannya adalah kau tak bisa hidup normal. kau tidak akan pernah bisa. Tahukah kau betapa khawatirnya aku? Kau nyaris lima kali terbunuh. lima kali!" Tangan kirinya menggenggam kedua tanganku yang tampak mungil di banding telapak tangannya dan tangan yang satunya menyentuh pipiku. lembut. aku bergetar. hampir saja menangis. Tapi aku tak mau membuatnya khawatir.
"Seryozha." Desisku.
"Dan semuanya terjadi karena kelalaian pengawal-pengawal itu. bayangkan bila tidak ada yang mengawalmu, kau pasti sudah tidak bisa lagi duduk di sini." Dia melepaskan genggaman tangannya menatapku.
"Aku menyerahkan semuanya pada Tuhan. Kematian adalah keputusan Tuhan, bukan pengawal."
"Tapi kita juga harus berusaha. atau apakah kau memang menginginkan ini? Menginginkan hidup tanpa pengawalan dan menginginkan orang-orang menganggapmu sebagai keturunan detektif yang pemberani?"
Mataku panas. Aku membelalak padanya. Lagi-lagi dia mengatakan itu! Ya, Ayah kandungku memang seorang detektif pemberani. tapi aku begini bukan karena itu! Aku begini karena tak ingin dia kenapa-napa.
"Kau!" Bentakku dengan suara bergelombang. Tidak aku tidak ingin menangis di hadapannya. "Itukah pendapatmu tentang diriku? Keturunan detektif yang sok pemberani?"
Dia seperti tersadar dari kesalahannya. Dia segera menggenggam tanganku. aku menariknya dengan cepat.
"Bukan begitu.."
Apa dia sudah lupa, setiap dia mengingatkanku pada ayah kandungku membuatku mengingat jalan hidupku yang tragis?
Ayahku, mantan detektif di kepolisian di divisi khusus pemberantasan Narkoba. Karirnya cemerlang, dan banyak membongkar dan menangkap para bandar narkoba. Malangnya Ayah tewas ketika menggrebek sebuah prabik pembuatan ekstasi. Entah darimana mereka tahu Ayah akan melakukan penggrebekan di sana, mereka sudah mepersiapkan diri dan justru menyerang Ayah dan anak buahnya dengan persenjataan lengkap.
Dua bulan setelah ayah meninggal, ibu menikah lagi. Meski kecewa atas sikap Ibu yang begitu cepat melupakan Ayah, aku berusaha menerimanya, asal ibu baahagia.
Namun akhirnya aku menyadari sebuah kenyataan. Orang yang membunuh, ya membunuh Ayah adalah Ayah tiriku, dan Ibuku sendiri yang membocorkan rencana penyergapan itu. Ibu dan Ayah dulu ternyata dijodohkan, padahal ibu sudah punya pacar, dan dialah Ayah tiriku.
Aku shock ketika tidak sengaja mengetahui kenyataan itu. Lebih shock lagi, ketika ayah tiriku lari meninggalkan hutang atas nama ibuku. Ibuku yang shock ditinggal lari suami tercintanya, akhirnya gila. Tinggala aku yang dikejar-kejar debt collector, dan Gang dimana dulu ayah diriku bergabung. Ternyata dia sudah menggadaikan organ tubuhku, hingga akhirnya aku menjadi incaran mereka. Mungkin saja aku juga akan gila juga, kalau Sergei, teman dari masa kecilku tidak ada bersamaku dan selalu melindungiku. Juga bekas anak buah ayah yang terkadang mengawalku. Tapi akhir-akhir ini aku mulai khawatir padanya...
"Maafkan aku." Desisnya setelah lama kami terdiam.
"Kau memang harus minta maaf." Desisku dengan suara parau.
Dia menatapku sendu. Matanya begitu sedih hanya karena tak sengaja menyakitiku. padahal aku tahu dia begitu karena mengkhawatirkanku. Tapi tahukah dia aku juga khawatir akan keselamatannya sendiri?
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar